Perkembangan Tradisi
Islam di Berbagai Daerah (Abad 15-18) - Tradisi merupakan salah satu bentuk
kebudayaan yang mapan dan hidup dalam masyarakat yang biasanya merupakan
kebiasaan-kebiasaan hidup. Perkembangan
aman akan mempengaruhi perkembangan tradisi. Dalam perkembangan tersebut
suatu tradisi akan berinteraksi dengan tradisi yang lainnya, sehingga
menunjukkan percampuran tradisi. Begitu pula halnya di Indonesia, tradisi
lokal, berinteraksi dengan tradisi Hindu-Buddha dan Islam. Proses Islamisasi
yang dilakukan oleh para penyebar Islam kepada masyarakat Indonesia, selain
melalui jalur perdagangan juga melalui jalur kebudayaan. Proses ini dilakukan melalui
kebudayaan yang dimiliki masyarakat setempat. Kebudayaan tersebut dapat berupa
kebiasaan-kebiasaan atau tradisi yang telah lama hidup dalam masyarakat yang kental
dipengaruhi tradisi Hindu-Buddha.
Sebelum datangnya Islam, masyarakat Indonesia sudah mengenal
tradisi. Tradisi yang berkembang dapat berupa kegiatan-kegiatan ritual
keagamaan yang berkaitan dengan siklus atau tahaptahap kehidupan manusia dan
hubungan manusia dengan alam. Kedatangan Islam memberikan nilai-nilai keagamaan
kepada tradisi tersebut. Manusia sebagai makhluk hidup memiliki tahap-tahap
kehidupan. Antara satu tahap dengan tahap yang lainnya merupakan suatu
perubahan kehidupan yang sangat berarti. Dalam melihat perubahan dari satu
tahap ke tahap lainnya, biasanya manusia melakukan kegiatan ritual dan mereka
menganggap kegiatan ini memiliki arti yang penting bagi kehidupan. Kegiatan
ritual inilah yang kemudian menjadi suatu tradisi. Tradisi perayaan yang
berkaitan dengan tahap-tahap kehidupan manusia antara lain:
1. Tahap kehamilan
Tahap pertama dalam kehidupan manusia ialah ketika dia
berada dalam kandungan ibunya. Usia kandungan yang dianggap paling berarti
adalah pada usia tujuh bulan, sebab pada usia ini janin bayi itu sudah berwujud
manusia yang sempurna. Pada usia inilah, biasanya diadakan tradisi upacara
perayaan yang dikenal tradisi tujuh bulanan.
2. Tahap kelahiran
Begitu bayi lahir diadakan pula perayaan, terutama setelah
bayi itu berusia satu minggu. Dalam ajaran Islam, memang disunatkan melakukan
aqiqah yaitu dengan cara mencukur rambut bayi yang diiringi dengan memotong
kambing. Bagi bayi laki-laki sebanyak dua ekor, sedangkan bayi perempuan satu
ekor. Dalam praktiknya diadakan pula perayaan yang biasa disebut dengan
kegiatan marhabaandan barzanzi.Tujuan kegiatan ini adalah pemberian doa kepada bayi
yang baru lahir dan kelak diharapkan bayi itu menjadi anak yang saleh. Aqiqah
yaitu dengan cara mencukur rambut bayi yang diiringi dengan memotong kambing
3. Tahap kanak-kanak
Tradisi perayaan dilakukan pula pada saat anak itu akan
disunat, khususnya bagi anak laki-laki. Dalam ajaran Islam memang dianjurkan
agar anak lakilaki disunat. Dalam praktik perayaan tersebut, unsur tradisi
budaya pun masuk. Misalnya di daerah tertentu ketika anak itu telah sembuh dari
proses sunatannya, maka anak tersebut diarak dari kampung ke kampung dengan
menggunakan kuda yang diiringi oleh musik dan nyanyian-nyanyian tradisional.
4. Tahap pernikahan
Perayaan yang bersifat tradisi bukan hanya dilakukan pada
masa bayi dan kanak-kanak. Pada usia dewasa pun dilakukan terutama ketika akan dinikahkan.
Pernikahan merupakan tahapan kehidupan yang dianjurkan dalam ajaran Islam.
Dalam praktiknya, pernikahan pada masyarakat tertentu selain mengikuti aturan
agama, diiringi pula dengan unsur tradisi. Tradisi itu dilakukan baik pada saat
sebelum pernikahan maupun pada saat proses upacara pernikahan. Misalnya dalam
penetapan hari pernikahan dipilih hari-hari atau bulan-bulan tertentu yang
dianggap cocok menurut tradisi. Pada saat menjelang acara pernikahan biasanya
calon pengantin mengikuti prosesi-prosesi tertentu, misalnya acara siraman.
Begitu pula pada saat acara pernikahan, ada prosesi-prosesi yang harus dilalui
menurut adat tertentu.
5. Tahap kematian
Hubungan manusia dengan manusia tidak hanya berlangsung
semasa hidupnya. Manusia yang hidup pun masih memiliki hubungan dengan orang yang
telah meninggal. Di Indonesia terdapat suatu tradisi tentang tata cara mengurus
jasad anggota keluarga yang meninggal. Dalam ajaran Islam, kewajiban orang
hidup kepada orang yang meninggal adalah memandikan, mengafani, mensalatkan dan
menguburkannya. Setelah mayat itu dikuburkan, kewajiban keluarga yang
ditinggalkan adalah mendoakannya. Bentuk mendoakan ini dalam praktiknya menjadi
suatu tradisi. Tradisi itu dikenal dengan tahlilan. Tahlilan biasanya dilakukan
selama tujuh hari semenjak orang itu meninggal, dilanjutkan pada hari ke-40,
ke-100, dan ke-1000. Dalam kegiatan tradisi itu, nilai-nilai agama masuk
seperti membaca doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur an. Tradisi masyarakat sebagaimana
telah dikemukakan di atas, oleh masyarakat penganutnya sudah dianggap sebagai
tradisi Islam. Sebab dalam praktiknya, tradisi tersebut diwarnai dengan
nilai-nilai agama Islam. Tradisi lain yang menarik pada masyarakat Indonesia
setelah masuknya Islam adalah tradisi pada saat Hari Raya Idul Fitri. Hari itu
merupakan hari suci umat Islam. Perayaan hari raya tersebut di Indonesia
dirayakan dengan sangat meriah, ditandai dengan acara silaturahmi antarkeluarga
dan tetangga. Tradisi hari raya atau lebaran di Indonesia ditandai dengan halal
bilhalal,ketupat, mudik, dan iarah kubur
sebagainadranatau nyadranatau nyekar.
Namun demikian, tradisi
iarah tidak hanya dilakukan pas menjelang atau sewaktu Hari Raya Idul
Fitri, pada hari-hari tertentu orang-orang ada yang melakukan nandran dengan
maksud atau tujuan lain, seperti meminta kekuatan gaib pada makam keramat,
meminta berkah, rejeki, atau kekayaan. Tradisi ini tentu bukan ajaran Islam
tetapi tradisi lokal yang sudah dipengaruhi Hindu-Buddha dan akhirnya Islam,
sehingga tradisi nandran dilengkapi, umpamanya dengan membakar kemenyan, dupa,
menabur bunga-bungaan, air, dan dibacakan ayat-ayat Al-Qur an. Dari
tradisi iarah seperti itu sangat kental
dengan perpaduan budaya lokal, Hindu-Buddha, dan Islam.
Masuknya pengaruh agama Islam pada masyarakat Indonesia
melalui proses sinkretisme yang memadukan antara budaya-budaya asli, budaya
HinduBuddha dan budaya Islam itu sendiri. Apabila kita melihat budaya Islam
yang berkembang pada masyarakat Indonesia memiliki banyak perbedaan dengan budaya
Islam yang berkembang di daerah kelahirannya yaitu di Ja irah Arab. Hal ini
menunjukkan bahwa terjadi suatu pembauran antara budaya lama yang telah
berkembang di masyarakat dengan budaya Islam sebagai budaya baru yang kemudian
masuk dan lebih mewarnai. Muncullah pada akhirnya tradisi-tradisi yang memiliki
nuansa keislaman, akan tetapi kalau kita rujuk lebih jauh tradisi tersebut
bukanlah tradisi yang dikembangkan oleh agama Islam itu sendiri dalam
pengertian tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw. Tradisi ini bisa kita lihat
dalam struktur genealogis raja-raja di kerajaankerajaan Islam di Indonesia yang
senantiasa selalu menempatkan dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad, bahkan
mengaitkannya dengan Nabi Adam. Dalam silsilah genealogis raja-raja Jawa
misalnya, selalu mengklaim dirinya keturunan para Dewa (pengaruh Hinduisme)
yang memiliki akar genealogis dengan konsep nur-rosodan nur-cahyo. Menurut
silsilah keraton, nur-rosodan nur-cahyo inilah yang kemudian melahirkan Nabi
Adam dan dewa-dewa sebagai nenek moyang raja-raja Jawa. Konsep nur-rosodan
nur-cahyoini sangat berkaitan dengan konsep agama Islam yang juga mengenal
adanya konsep nur-Muhammad yang telah ada jauh sebelum jasadnya sendiri
dilahirkan. Demikian pula kita bisa lihat silsilah yang dibuat oleh raja-raja
Banten, Demak ataupun Cirebon yang selalu mengaitkan dirinya sebagai keturunan
Nabi Muhammad.
Demikian pula dalam hal legitimasi kekuasaan yang dimiliki
oleh seorang raja. Agar rakyat mau tunduk pada perintah dan kekuasaan raja,
dibuatlah suatu simbol dan konsep-konsep yang menunjukkan kekuasaan raja.
Simbol dan konsep-konsep tersebut meskipun bernapaskan Islam akan tetapi kalau kita
rujuk lebih jauh lagi, tampaknya merupakan pengaruh dari kebudayaan sebelumnya
yaitu budaya Hindu-Buddha. Di antara raja-raja Islam banyak yang menggunakan
gelar-gelar yang menunjukkan bahwa dirinya adalah manusia terpilih atau bahkan
wakil Allah yang berhak untuk memerintah dan membuat tunduk semua manusia di
muka bumi. Misalnya Raja Merah Silu dari Kerajaan Samudera Pasai menggunakan
gelar zillu’Illahi fi’al-Alam(bayang-bayang Tuhan di muka bumi), penguasa
Mataram di Jawa mengklaim dirinya sebagai Khalifatullah(wakil Allah), Sultan
Alauddin Ri ayat Syah dari Aceh menggunakan gelarSayyidi al-Mukammil(Tuanku
Yang Sempurna). Sementara itu gelargelar pra-Islam seperti Raja, Dipertuan, Pangeran,
Panembahan dan Susuhunan tetap dipertahankan bersamaan dengan munculnya
gelar-gelar baru seperti Sultan ataupun Syah.
Gelar-gelar tersebut bukanlah gelar yang memang diajarkan
oleh agama Islam, sebab Islam sendiri menolak sentralitas kekuasaan dan
pengidentikan manusia, raja, atau penguasa dengan Tuhan. Bahkan Islam memandang
semua manusia itu pada dasarnya sama sebagai makhluk ciptaan dan hamba Allah, tidak
ada keistimewaan antara satu manusia dengan manusia lainnya, kecuali ketakwaannya.
Gelar-gelar yang digunakan oleh para raja yang menunjukkan legitimasi
kekuasaannya tersebut merupakan hasil sinkretisme antara budaya Hindu- Buddha
dengan budaya Islam. Dalam agama Hindu dikenal konsep Dewa-Rajayang memandang
bahwa seorang penguasa dipandang sebagai penjelmaan dari Dewa, biasanya Wisnu
atau Indra. Begitu pula dalam agama Buddha dikenal adanya konsep Boddhisatwayang
biasa digunakan para penguasa untuk mengidentikkan dirinya dengan sang Buddha
yang tercerahkan dan dengan sukarela meninggalkan Nirwana untuk membantu
pembebasan umat manusia di dunia. Dengan masuknya agama Islam, konsep-konsep
ini kemudian diubah lagi dengan menggunakan simbol-simbol yang bernapaskan Islam
untuk membangun legitimasi kekuasaan para raja.
Begitu kuatnya sinkretisme dalam proses penyebaran agama
Islam bisa kita lihat pada mitos-mitos yang berkembang di masyarakat tentang
proses penyebaran Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Cerita mengenai Walisongo
menjadi bukti begitu kuatnya unsur-unsur magis-religius yang dikembangkan pada
cerita seputar penyebaran Islam. Sebagai contoh, Sunan Kalijaga dalam
kisah-kisahnya begitu banyak unsur mistiknya, bahkan sampai sekarang
orang-orang pantai utara Jawa mempercayai adanya sebuah batu bekas sujudnya.
Begitu juga cerita-cerita adanya kiai-kiai sakti yang dapat salat di Mekkah
dalam waktu sekejap, kemudian pulang kembali ke pesantrennya atau kiai yang
dapat menghilang, dapat berkhutbah di dua tempat pada waktu bersamaan.
Cerita-cerita semacam ini juga terdapat di daerah luar Jawa. Tradisi
upacara-upacara ritual keagamaan yang dahulu banyak dilakukan pada masa
Hindu-Buddha diteruskan pada masa Islam. Tentu saja ritual tersebut mengalami
perubahan isi dengan mengambil konsep-konsep Islam. Sebagai contoh,
upacara Pangiwahandi Jawa yang
dimaksudkan agar manusia menjadi wiwohoatau muliadengan cara melakukan
upacara-upacara pada fase-fase kehidupan manusia seperti kelahiran, perkawinan,
kematian, dan sebagainya.
Tradisi-tradisi upacara lainnya, misalnya upacara-upacara
yang dihubungkan dengan hari-hari bersejarah dalam Islam seperti kelahiran Nabi,
Isra Mi raj, dan sebagainya. Yang lebih terkenal dan banyak dilakukan adalah
tradisi memperingati kelahiran Nabi Muhammad (sering disebut dengan Maulid atau
Maulud) dengan melakukan upacara-upacara seperti tabut di daerah Sumatra atau Sekatendalam tradisi masyarakat Yogyakarta.[gs]
sumber : http://www.gurusejarah.com/2015/07/perkembangan-tradisi-islam-di-berbagai.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar